Senin, 26 Desember 2011

MENGUCAPKAN SELAMAT HARI RAYA KEPADA NON MUSLIM Oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsamîn

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsamîn ditanya tentang hukum mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim (seperti selamat Natal) : Jika mereka memberi ucapan selamat kepada kita, bagaimana cara menjawabnya? Bolehkah kita menghadiri tempat-tempat perayaan mereka berkait dengan hari raya ini? Jika ada yang mengikutinya, apakah dia berdosa? Padahal terkadang dia melakukannya karena pura-pura, atau malu, atau merasa bersalah (jika tidak menghadiri undangan, Red.) dan berbagai sebab lainnya? Dalam masalah ini, apakah kita boleh meniru mereka?

Jawab
Memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir, seperti ucapan “Selamat Natal” dan perayaan keagamaan lainnya, hukumnya adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama’.

Ibnul-Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Ahkâmu Ahli Dzimmah mengatakan: "Mengucapkan selamat dengan syiar-syiar orang kafir yang merupakan kekhususan mereka, hukumnya ialah haram menurut kesepakatan para ulama. Seperti memberikan ucapan selamat kepada mereka berkaitan dengan hari raya mereka, ibadah mereka, dengan mengucapkan “selamat berhari raya”, atau yang sejenisnya. Perbuatan seperti ini, kalaupun si pelaku selamat dari kekufuran, namun ia telah melakukan sesuatu yang diharamkan. Perbuatan seperti ini sama dengan mengucapkan “selamat” atas peribadatan mereka. Bahkan ucapan ini lebih besar dosanya di sisi Allah Azza wa Jalla dan lebih dimurkai daripada memberikan ucapan selamat kepada peminum khamr, pembunuh, pezina, dan lain sebagainya. Banyak orang yang tidak memiliki perhatian terhadap din (agama) terseret dalam perbuatan seperti ini. Dia tidak mengetahui kejelekan yang dilakukannya. Barang siapa memberikan ucapan selamat berkaitan dengan perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka ia terancam mendapat kemurkaan Allah Azza wa Jalla.” Selesai perkataan Ibnul-Qayyim rahimahullah.

Memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir berkaitan dengan perayaan keagamaan mereka hukumnya haram. Seperti inilah yang disebutkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah, karena dalam ucapan selamat tersebut tersirat pengakuan terhadap syiar-syiar (simbol-simbol) kekufuran, ridha terhadap kekufuran meskipun ia tidak ridha kekufuran itu untuk dirinya. Bagi setiap muslim diharamkan menyukai kekufuran atau memberikan ucapan selamat kepada yang lain berkaitan dengan kekufuran ini, karena Allah k tidak meridhai kekufuran. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

"Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu". [az-Zumar/39 : 7].

Firman Allah Azza wa Jalla.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu".[al-Mâ`idah/5 : 3].

Memberikan ucapan selamat kepada mereka bererkaitan dengan hal itu, hukumnya haram, baik ia ikut merayakan maupun tidak. Jika memberikan ucapan selamat kepada kita berkaitan dengan hari raya mereka, maka kita tidak perlu menjawabnya. Karena itu bukan hari raya kita. Juga hari raya itu tidak diridhai Allah Azza wa Jalla. Karena kemungkinan hari raya itu adalah bid’ah dalam agama mereka, atau mungkin pernah disyari’atkan namun telah dihapus dengan agama Islam yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk semua manusia dan jin. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Barang siapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". [Ali Imrân/3 : 85].

Memenuhi undangan dalam perayaan ini hukumnya haram. Karena memenuhi undangan ini lebih berat dibandingkan memberikan ucapan selamat. (Dengan) menghadiri undangan, berarti ikut merayakan bersama mereka. Begitu juga, seorang muslim diharamkan meniru mereka dengan mengadakan acara-acara dalam hal perayaan ini, atau saling memberi hadiah, membagi-bagi permen, makanan, meliburkan aktifitas, atau yang sejenisnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut". [HR Imam Ahmad dalam Musnadnya, 2/50, 92].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya, Iqtidhâ Sirathil-Mustaqîm, Mukhâlafatu Ash-hâbil-Jahîm, berkata: “Meniru-niru mereka dalam sebagian perayaan mereka menyebabkan seseorang bangga dengan kebathilan yang ada pada mereka … Bisa jadi, hal ini akan lebih memotivasi mereka untuk memanfaatkan momen-momen itu”. Selesai perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

Seseorang yang melakukan perbuatan ini, berarti ia berdosa, baik melakukannya karena pura-pura, suka, malu, atau karena faktor lainnya. Karena semua itu termasuk mudâhanah (dukukngan yang dilarang) dalam dinullah dan menyebabkan mereka semakin mantap serta bangga dengan agamanya.

Kita memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menjadikan kaum muslimin mulia dengan agamanya, memberikan keteguhan hati, serta menolong kaum muslimin dalam mengalahkan musuh-musuhnya. Sesungguhnya Allah k Maha kuat dan Maha perkasa.

Fatâwa Ulamâ al-Baladil-Harâm, hlm. 935-937.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

SHALAT-SHALAT SUNNAH Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

A. Keutamaannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَـابَ وَخَسِرَ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ شَيْئًا، قَـالَ الرَّبُّ تَبَـارَكَ وَتَعَالَى: اُنْظُرُوْا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ، فَيُكَمَّلُ بِهِ مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى نَحْوِ ذَلِكَ.

“Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari Kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamatlah dia. Namun, jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci dan Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Jika ia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana tadi.” [1]

B. Disunnahkan Mengerjakannya di Rumah
Dari Jabir, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا قَضَى أَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ فِـي مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْباً مِنْ صَلاَتِهِ، فَإِنَّ اللهَ جَاعِلٌ فِي بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ نُوْرًا

“Jika salah seorang di antara kalian telah menunaikan shalat di masjidnya, maka hendaklah ia memberi jatah shalat bagi rumahnya. Karena sesungguhnya Allah menjadikan cahaya dalam rumahnya melalui shalatnya.” [2]

Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِي بُيُوْتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ.

“Kerjakanlah shalat (sunnah) di rumah kalian. Karena sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat wajib.” [3]

C. Macam-Macamnya
Shalat sunnah ada dua bagian: Muthlaqah dan Muqayyadah
Muthlaqah adalah yang dikenal dengan sunnah rawatib, yaitu yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib. Ia terdiri dari dua bagian: muakkadah (yang ditekankan) dan ghairu muakkadah (tidak ditekankan).

1. Shalat sunnah muakkadah ada sepuluh raka’at
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Aku ingat sepuluh raka’at dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : dua raka’at sebelum Zhuhur dan dua raka’at sesudahnya. Dua raka’at sesudah Maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya', serta dua raka’at sebelum shalat Shubuh. Pada saat itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mau ditemui. Hafshah Radhiyallahu anhuma menceritakan padaku bahwa jika mu-adzin mengumandangkan adzan dan fajar (yang kedua) telah terbit, beliau shalat dua raka’at." [4]

Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka’at sebelum shalat Zhuhur, dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh.” [5]

2. Shalat sunnah ghairu muakkadah: Dua raka’at sebelum shalat ‘Ashar, Maghrib, dan 'Isya'.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، ثُمَّ قَـالَ فِي الثَّالِثَةِ: لِمَنْ شَاءَ.

“Di antara dua adzan (antara adzan dan iqamat-ed.) ada shalat, di antara dua adzan ada shalat.” Kemudian beliau berkata pada kali yang ketiga, “Bagi siapa saja yang menghendakinya.”[6]

Disunnahkan untuk menjaga empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat empat raka’at sebelum shalat ‘Ashar. Beliau memisahkan antara raka’at-raka’at tadi dengan mengucapkan salam pada para Malaikat muqarrabiin (yang didekatkan kepada Allah), dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan muslimin dan mukminin.” [7]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

رَحِمَ اللهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا.

“Semoga Allah merahmati orang yang shalat empat raka’at sebelum ‘Ashar.” [8]

Riwayat yang mengabarkan bacaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebagian shalat tersebut

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يُقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَقُلْ يَآ أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ.

“Dua surat yang paling baik dibaca pada dua raka’at sebelum Shubuh adalah qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) dan qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun). [9]

Dari Abu Hurairah Radhiyalllahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sebelum Shubuh.” [10]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Pada dua raka’at shalat sunnah fajar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah membaca: quuluu aamannaa billaahi wa maa unzila ilainaa, yaitu ayat dalam surat al-Baqarah pada raka’at pertama. Dan pada raka’at terakhir: aamannaa billaahi wasyhad bi annaa muslimuun." [11] (Ali ‘Imran: 52).

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku tidak bisa menghitung berapa kali aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca: qul yaa ayyuhal kaafiruun (al-Kaafiruun) dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash) pada dua raka’at sesudah Maghrib dan dua raka’at sebelum shalat Shubuh." [12]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 451, 452)], Sunan at-Tirmidzi (I/258 no. 411), Sunan an-Nasa-i (I/232).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 375)], Shahiih Muslim (I/239 no. 778).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (X/517 no. 6113)], Shahiih Muslim (I/539 no. 781), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/321 no. 1434) dan Sunan an-Nasa-i (III/198).
[4]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 440)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/58/ no. 1180, 1180), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/271 no. 431), dengan lafazh hampir serupa.
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1658)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/58 no. 1182), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/134 no. 1240) dan Sunan an-Nasa-i (III/251).
[6]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/110 no. 627)], Shahiih Muslim (I/573 no. 838), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/162 no. 1269), Sunan at-Tirmidzi (I/120 no. 185), Sunan an-Nasa-i (II/28), Sunan Ibni Majah (I/368 no. 1162).
[7]. Hasan: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 353)], Sunan at-Tirmidzi (I/269 no. 427).
[8]. Hasan: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 354)], Sunan at-Tirmidzi (I/270 no. 428), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/149 no. 1257).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 944)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/163 no. 1114), Ahmad (al-Fat-hur Rabbani) (IV/225 no. 987), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1150).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 360)], Shahiih Muslim (I/502 no. 726), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/135 no. 1243), Sunan an-Nasa-i (II/156), Sunan Ibni Majah (I/363 no. 1148).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 905)], Shahiih Muslim (I/502 no. 727), Sunan an-Nasa-i (II/155), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/137 no. 1246).
[12]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 355)], Sunan at-Tirmidzi (I/ 270 no. 429).

Sabtu, 10 Desember 2011

Jangan Takut Dituduh ‘Ujub atau Riya’

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Di zaman sekarang sebagian orang dengan beraninya “menjual” pemikiran sesatnya di tengah orang banyak.


Bahkan pemikiran sesat yang dia ‘jual’ terkadang disepakati oleh seluruh kaum muslim, bahkan manusia seluruhya akan kesesatannya!!! Tetapi dia dengan beraninya ‘menjual’ pemikiran sesatnya di tengah orang banyak. Wallahu al musta’an. (hanya kepada Allah tempat meminta pertolongan).

Berbicara tentang agama seenak perutnya, ayat dipelintir, hadits dihina dsb…

Berbicara tentang agama sekehendaknya tanpa ilmu dari Al Quran dan sunnah…

Menulis tentang perkara agama semaunya tanpa ada rasa takut sama sekali kepada Allah Al Jabbar…

Padahal Allah Ta’ala berfirman:

{وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ } [الأنعام: 93]

Artinya: “Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya”.


{لَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ (116) مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (117)} [النحل: 116 - 711]

Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. “(Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih”. QS. An Nahl: 116-117.

Lihat pedihnya siksa orang-orang yang berkata tentang Allah, agama-Nya, Rasul-Nya… tanpa dasar ilmu yang benar.!!!

Sebagian orang ada yang menghina Allah, menghina Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menghina Al Quran, menghina ajaran-ajaran Islam dengan mudah dan beraninya, dia sadari atau tidak.

Di zaman sekarang sebagian orang dengan lantangnya “menjajakan” pemikiran kafir dan syiriknya di tengah orang banyak.

Bahkan pemikiran kafir dan syirik yang dia ‘jajakan’ terkadang disepakati oleh seluruh kaum muslim bahkan Fir’aun atau Abu Jahal tidak menyebarkan kekafiran dan kesyirikan yang begitu nyata tersebut.

Sebagian orang dengan beraninya mengajak, menyeru jamaahnya untuk beribadah kepada selain Allah, berdoa kepada selain Allah Ta’ala, beristightsah kepada selain Allah Ta’ala.
Tentunya penyebaran-penyebaran kesesatan, kekafiran dan kemusyrikan ini tidak dilakukan secara personal, tetapi bahkan kadang sudah tingkat internasional dan bahkan dilakukan secara terorganisir dan rapi.

Melihat kejadian seperti ini, sudah seharusnya kaum muslim yang senantiasa berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah Nabi yang shahih berdasarkan pemahaman para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum bersinergi, saling merangkul, jalan bersama, yang kurang dilengkapi, yang sudah merasa lengkap semoga selalu bisa istiqamah dan tetap menerima masukan kawan-kawannya dari kaum muslim yang satu metode beragama dengannya.

Sebagaimana mereka dengan semangatnya, membuat berbagai planning untuk penyebaran kesesatan yang mereka pelopori.

Sebagaimana mereka dengan semangatnya, mengeluarkan sumber daya yang mereka miliki untuk penyebaran kekafiran dan kesyirikan yang mereka anut.

Sebagaimana mereka dengan keteguhannya mengerahkan semua kekuatan dan potensi untuk penyebaran kemusyrikan yang mereka anggap itu bukan sebagai kesyirikan.
Maka, kita juga harus berani tampil tangguh untuk menjual ‘Barang dagangan Allah Ta’ala’ yang sangat mahal ini.

عن أَبي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ خَافَ أَدْلَجَ وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ الْجَنَّةُ »

Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang takut, maka hendaknya dia berjalan di awal malam, dan barangsiapa yang berjalan di awal malam maka dia akan sampai kepada yang diinginkan, ingatlah sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal dan ketauhilah bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga”. HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no 954.

Makna Hadits dari penjelasan Ath Thiby rahimahullah

Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk seseorang yang berjalan menuju kehidupan akhirat (akhirat oriented), maka sesungguhnya syetan ada yang menghadang di jalannya dan hawa nafsu serta angan-angan dusta adalah pembantu-pembantunya (syetan).

Jika dia hati-hati di jalannya dan dan mengikhlaskan niat di dalam amalannya maka dia akan aman dari syetan dan gangguannya dan siapa saja yang memotong jalan dengan sekutu-sekutunya.

Kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa menjalani jalan menuju akhirat sulit dan mendapatkannya tidak mudah, tidak di dapat dengan usaha yang ringan (sekedarnya), makanya beliau bersabda: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya barang dagangan Allah”, maksudnya adalah barang-barangnya dari nikmat yang ada di surga”, “mahal”, maksudnya adalah tinggi derajatnya, “Ketahuilah, sesungguhnya barang dagangan Allah adalah surga”, maksudnya harganya adalah amalan yang tetap, yang ditujukkan oleh Firman Allah Ta’ala:

{وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا} [الكهف: 46]

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. QS. AL Kahfi: 46.

Dan juga dengan Firman-Nya:

{إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ } [التوبة: 111]

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. QS. At Taubah: 111. Lihat kitab Tufat Al Ahwadzi.

Kita harus berani menghilangkan segala rasa tawadhu’ semu yang menjadikan seseorang melempem tidak mau mendakwahkan agama Allah yang sempurna ini.

Sebagian orang mengatakan:

“Masih banyak orang-orang yang lebih pinter dari saya, siapa saya?!”.

“Siapa yang mengetahui kemampuan dirinya maka Allah akan merahmati dirinya”.

“Masih banyak yang lebih berkompeten daripada saya”.

Dan lainnya dari pernyataan-pernyataan yang sepertinya indah tetapi karena tidak digunakan tidak pada tempatnya menjadi tawadhu’ semu yang menjadikan seseorang melempem tidak mau, tidak semangat berdakwah.

Jika kita yakin berada di jalan Al Quran dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘ahum, maka kita harus berani dalam menjajakan syariat Allah, menyebarkannya ditengah kerusakan yang kian meningkat, seberani mereka yang menyebarkan kesesatan, kekafiran dan kemusyrikan tadi, bahkan harus lebih berani daripada mereka karena Allah hanya akan menolong para rasul-Nya dan orang-orang beriman.

{ إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ} [غافر: 51]

Artinya: “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)”. QS. Ghafir: 51.

Ayo para Ustadz Ahlus Sunnah… sekarang saatnya menyampaikan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat cocok di semua tempat, waktu dan keadaan, jangan takut Anda dikatakan riya’, ketika Anda sendiri yang ternyata harus mengumumkan kajian Anda, dikarenakan tidak ada yang menolong Anda.

Ayo para Ahli Dakwah Ahlus Sunnah…sekarang saatnya menyampaikan agama Allah yang sempurna ini dengan dalil-dalinya, jangan takut dikatakan ‘ujub jika Anda sendiri yang tenyata harus mengumumkan kajian Anda jika tidak ada yang menolong Anda.
Ayo Kaum muslim, bergembira dan bersyukurlah ketika Anda ditakdirkan oleh Allah Ta’ala untuk berperan dengan semampunya, sebisanya dalam menyampaikan agama Allah Ta’ala beserta dalil-dalilnya, sungguh Anda adalah orang yang dipilih Allah ta’ala, karena tidak semua mempunyai kesempatan dan berkesempatan.

Tentunya…!!!

Tetap dengan menjaga hati dan niat atas amalan yang diperbuat, yaitu hanya berharap wajah dan pahala Allah semata, karena inilah yang merupakan syarat utama diterima amal dan dakwah kita oleh Allah Ta’ala.

Jangan ingin dilihat kecuali oleh Allah dan jangan ingin diberikan sanjungan dan pujian apapun kecuali dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala menceritakan tentang orang yang bersedekah:

{إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا} [الإنسان: 9]

Artinya: “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih”. QS. Al Insan: 9.


*) Ditulis oleh Ahmad Zainuddin

Apa yang Engkau Baca Ketika Shalat

- Takbir -
Allahu akbar
Allah Maha Besar


- Doa Iftitah -
Allahu akbar kabira
Allah Maha Besar lagi Maha Sempurna KebesaranNya,
walhamdulillahi katsira
dan segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya,
wa subhanallahi bukrataw wa ashila
dan maha suci Allah sepanjang pagi dan petang,

inni wajjahtu wajhiya...
sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada wajahMu...
... lilladzi fatharassamawati wal ardhi ...
... yang telah menciptakan langit dan bumi ...
... hanifam muslima ...
... dengan penuh ketulusan dan tunduk ...
... wa ma ana minal musyrikin ...
... dan bukanlah aku termasuk kedalam golongan yang mempersekutukan Engkau (musyrik)

inna shalati ...
sesungguhnya shalatku...
... wa nusuki ...
... dan ibadahku ...
... wa mahyaya ...
... dan hidupku ...
... wa mamati ...
... dan matiku ...
... lillahi rabbil 'alamin
...... hanyalah untuk Tuhan Semesta Alam!

la syarikalahu
tiada sekutu bagi Engkau,
wa bizalika umirtu
dan dengan demikian itulah aku diperintahkan,
wa ana minal muslimin
dan aku termasuk orang-orang Islam!


- AL FATIHAH -
bismillahirrahmanirrahim
dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

alhamdulillahi rabbil 'alamin
segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam

arrahmanir rahim
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

maliki yaumiddin
yang menguasai hari pembalasan

iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in
hanya kepadaMulah kami menyembah!
dan hanya kepadaMulah kami memohon pertolongan!

ihdinash shiratal mustaqim
tunjukilah kami jalan yang lurus

shiratalladzina an'amta alaihim
yaitu jalan yang Engkau berikan nikmat kepada mereka

ghairil maghdu bialaihim waladhdhallin
bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat


-Ruku'-
subhana rabbiyal adzimi wabihamdih
Maha Suci Tuhan yang Maha Agung dan memujilah aku kepadaNya


-I'tidal-
sami allahu liman hamidah
semoga Allah mendengar siapa-siapa yang memujiNya

rabbana lakal hamdu ...
Ya Tuhan kami, hanya bagiMulah segala puji ...

... mil ussamawati wa mil ulardhi ...
... pada segenap langit dan segenap bumi ...

... wa min umaa syi'ta min syai'in ba'du
... dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah itu


-Sujud-
subhana rabbiyal a'la wabihamdih
Maha Suci Tuhan yang Maha Tinggi dan memujilah aku kepadaNya


-Duduk diantara Dua Sujud-
rabbighfirli...
Wahai Tuhan, ampunilah aku...
...warhamni...
...dan kasihanilah aku...
...wajburni...
...dan cukupkanlah (segala kekurangan)ku...
...warfa'ni...
...dan angkatlah derajatku...
...warzuqni...
...dan berikanlah rizki kepadaku...
...wahdini...
...dan tunjukilah aku...
...waafini...
...dan berikanlah kesehatan kepadaku...
...wa'fuanni...
...dan maafkanlah aku...


-Tasyahud dan Shalawat Nabi-
attahiyatul mubarakatus salawatut tayyibatu lillah
segala kehormatan, keberkahan, rahmat, dan kebaikan adalah milik Allah

assalamu 'alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh
semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkahNya (tetap tercurah) atasmu wahai Nabi

assalamu 'alaina wa 'ala ibadilahish shalihin
semoga keselamatan (tetap tercurah) atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih
asyhadu anla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammaddar rasulullah
aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah

allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad
ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya

kama shalaita 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim
sebagaimana telah Engkau limpahkan rahmat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya

wabarik 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad
dan limpahkanlah berkah atas Nabi Muhammad dan keluarganya

kama baraktah 'ala Ibrahim wa 'ala ali Ibrahim
sebagaimana telah Engkau limpahkan berkah kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya

fil alamina innaka hamidun majid
di seluruh alam semesta ini, sungguh Engkaulah yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia


-Salam-
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah tetap terlimpah atasmu sekalian

disadur dari : http://varisphere.blogspot.com/2011/03/apa-yang-kamu-baca-dalam-shalatmu.html

Senin, 08 Agustus 2011

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

Dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ. قَالَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ فَمَا بَرِحْتُ أُصَلِّيهِنَّ بَعْدُ

“Seorang hamba yang muslim melakukan shalat sunnah yang bukan wajib, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.” (Kemudian) Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata, “Setelah aku mendengar hadits ini aku tidak pernah meninggalkan shalat-shalat tersebut.” [1]


Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan shalat sunnah rawatib, sehingga Imam an-Nawawi mencantumkan hadits ini sebagai hadits yang pertama dalam bab: keutamaan shalat sunnah rawatib (yang dikerjakan) bersama shalat wajib (yang lima waktu), dalam kitab beliau Riyadhus Shaalihiin. [2]

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

Shalat sunnah rawatib adalah shalat sunnah yang dikerjakan sebelum dan sesudah shalat wajib lima waktu. [3]
Dalam riwayat lain hadits ini dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dan memerinci sendiri makna “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas[4], yaitu: empat rakaat sebelum shalat Zhuhur[5] dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Magrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh[6]. Adapun riwayat yang menyebutkan: “…Dua rakaat sebelum shalat Ashar”, maka ini adalah riwayat yang lemah[7] karena menyelisihi riwayat yang lebih kuat yang kami sebutkan sebelumnya. [8]
Keutamaan yang disebutkan dalam hadits di atas adalah bagi orang yang menjaga shalat-shalat sunnah rawatib dengan melaksanakannya secara kontinyu, sebagaimana yang dipahami dan dikerjakan oleh Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, perawi hadits di atas dan demikian yang diterangkan oleh para ulama[9].
Jika seseorang tidak bisa melakukan shalat sunnah rawatib pada waktunya karena ada udzur (sempitnya waktu, sakit, lupa dan lain-lain) maka dia boleh mengqadha (menggantinya) di waktu lain[10]. Ini ditunjukkan dalam banyak hadits shahih. [11]
Dalam hadits ini terdapat peringatan untuk selalu mengikhlaskan amal ibadah kepada Alah Ta’ala semata-mata.
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan amal ibadah yang dikerjakan secara kontinyu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit.” [12]
Semangat dan kesungguhan para sahabat dalam memahami dan mengamalkan petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah yang menjadikan mereka lebih utama dalam agama dibandingkan generasi yang datang setelah mereka.

Footnote:

[1] HSR Muslim (no. 728).

[2] Riyadhus Shalihin (bab no. 195, hal. 1409).

[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam Shahih Muslim (1/502).

[4] Lihat keterangan syaikh al-’Utsaimin dalam Syarh Riyadhish Shaalihiin (3/282).

[5] Dikerjakan dua raka’at – salam dan dua raka’at – salam (ed)

[6] HR an-Nasa-i (3/261), at-Tirmidzi (2/273) dan Ibnu Majah (1/361), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahih sunan Ibnu Majah (no. 935).

[7] Dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam Dha’iful Jaami’ish Shagiir (no. 5672).

[8] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 22).

[9] Lihat misalnya kitab Faidhul Qadiir (6/166).

[10] Demikian keterangan yang kami dengar langsung dari guru kami yang mulia, syaikh Abdul Muhsin al-’Abbaad, semoga Allah menjaga beliau.

[11] Lihat kitab Bughyatul Mutathawwi’ (hal. 29, 33-34).

[12] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Artikel www.muslim.or.id

Tata Cara Shalat Malam dan Witir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata tarwihah. Secara bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian perbuatan duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai shalat malam 4 rakaat disebut tarwihah; karena dengan duduk itu orang-orang bisa beristirahat setelah lama melaksanakan qiyam Ramadhan.

Menegakkan Shalat malam atau tahajud atau tarawih dan shalat witir di bulan Ramadhan merupakan amalan yang sunnah. Bahkan orang yang menegakkan malam Ramadhan dilandasi dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu.

Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ قاَمَ رَمَضَانَ إِيـْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

“Siapapun yang menegakkan bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim 1266)

Pada asalnya shalat sunnah malam hari dan siang hari adalah satu kali salam setiap dua rakaat. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu?” Beliau menjawab:

« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang lain dikatakan:

« صَلاَةُ اللَّيْلِ وَ النَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ »

“Shalat malam hari dan siang hari itu dua rakaat – dua rakaat.” (HR Ibn Abi Syaibah) (At-Tamhiid, 5/251; Al-Hawadits, 140-143; Fathul Bari’ 4/250; Al-Muntaqo 4/49-51)

Maka jika ada dalil lain yang shahih yang menerangkan berbeda dengan tata cara yang asal (dasar) tersebut, maka kita mengikuti dalil yang shahih tersebut. Adapun jumlah rakaat shalat malam atau shalat tahajud atau shalat tarawih dan witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah lebih dari 11 atau 13 rakaat.

Shalat tarawih dianjurkan untuk dilakukan berjamaah di masjid karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan hal yang sama walaupun hanya beberapa hari saja. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir rahimahullah, ia berkata:

“Kami melaksanakan qiyamul lail bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 Ramadhan sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan sampai separuh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” (HR. Nasa’i, Ahmad, Al-Hakim, Shahih)

Beserta sebuah Hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dia berkata:

Kami puasa tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih) hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam (tinggal 6 hari lagi – pent). Dan pada malam ke lima (tinggal 5 hari – pent) beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separuh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau bersabda:

« مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ »

“Barang siapa shalat tarawih bersama imam sampai selesai maka ditulis baginya shalat malam semalam suntuk.”

Kemudian beliau tidak memimpin shalat lagi hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapatkan falah. Saya (perowi) bertanya ‘apa itu falah?’ Dia (Abu Dzar) berkata ‘sahur’. (HR. Nasa’i, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad, Shahih)

Hadits itu secara gamblang dan tegas menjelaskan bahwa shalat berjamaah bersama imam dari awal sampai selesai itu sama dengan shalat sendirian semalam suntuk. Hadits tersebut juga sebagai dalil dianjurkannya shalat malam dengan berjamaah.

Bahkan diajurkan pula terhadap kaum perempuan untuk shalat tarawih secara berjamaah, hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh khalifah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu yaitu beliau memilih Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam untuk kaum lelaki dan memilih Sulaiman bin Abu Hatsmah radhiyallahu ‘anhu untuk menjadi imam bagi kaum wanita.

Tata Cara Shalat Malam

Perlu kita ketahui bahwa tata cara shalat malam atau tarawih dan shalat witir yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada beberapa macam. Dan tata cara tersebut sudah tercatat dalam buku-buku fikih dan hadits. Tata cara yang beragam tersebut semuanya pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum. Semua tata cara tersebut adalah hukumnya sunnah.

Maka sebagai perwujudan mencontoh dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaklah kita terkadang melakukan cara ini dan terkadang melakukan cara itu, sehingga semua sunnah akan dihidupkan. Kalau kita hanya memilih salah satu saja berarti kita mengamalkan satu sunnah dan mematikan sunnah yang lainnya. Kita juga tidak perlu membuat-buat tata cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengikuti tata cara yang tidak ada dalilnya.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Beliau membuka shalatnya dengan shalat 2 rakaat yang ringan.
Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang.
Kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan tiap rakaat yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya hingga rakaat ke-12.
Kemudian shalat witir 1 rakaat.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Zaid bin Kholid al-Juhani, beliau berkata: “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam, maka beliau memulai dengan shalat 2 rakaat yang ringan, Kemudian beliau shalat 2 rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat 2 rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat witir 1 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini menjadi dalil bolehnya shalat iftitah 2 rakaat sebelum shalat tarawih.

Shalat tarawih sebanyak 13 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
Kemudian melakukan shalat witir langsung 5 rakaat sekali salam.

Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan tidur malam, maka apabila beliau bangun dari tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Setelah itu beliau shalat delapan rakaat dengan bersalam setiap 2 rakaat kemudian beliau melakukan shalat witir lima rakaat yang tidak melakukan salam kecuali pada rakaat yang kelima.”

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat 10 rakaat dengan sekali salam setiap 2 rakaat.
Kemudian melakukan shalat witir 1 rakaat.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يُصَلىِّ فِيْمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ – وَ هِيَ الَّتِي يَدْعُوْ النَّاسُ الْعَتَمَةَ – إِلىَ الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُسَلَّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam atau tarawih setelah shalat Isya’ – Manusia menyebutnya shalat Atamah – hingga fajar sebanyak 11 rakaat. Beliau melakukan salam setiap dua rakaat dan beliau berwitir satu rakaat.” (HR. Muslim)

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat 8 rakaat dengan sekali salam setiap 4 rakaat.
Kemudian shalat witir langsung 3 rakaat dengan sekali salam.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلّ الله عليه و سلّم يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَ لاَ فِي غَيْرِهِ إِحْدَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا، فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلَـهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah bilangan pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan selain Ramadhan dari 11 Rakaat. Beliau shalat 4 rakaat sekali salam maka jangan ditanya tentang kebagusan dan panjangnya, kemudian shalat 4 rakaat lagi sekali salam maka jangan ditanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat witir 3 rakaat.” (HR Muslim)

Tambahan: Tidak ada duduk tahiyat awal pada shalat tarawih maupun shalat witir pada tata cara poin ini, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut. Bahkan ada larangan menyerupai shalat maghrib.

Shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat langsung sembilan rakaat yaitu shalat langsung 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam.
Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah, beliau berkata:

كُناَّ نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ، فَيَـبْعَثُهُ اللهُ مَا شَاءَ أَنْ يَـبْعَثَهُ مِنَ الَّيْلِ، فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يُصَلِى تِسْعَ رَكْعَةٍ لاَ يَـجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ، ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ، ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيْمًا يُسْمِعْناَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ (رواه مسلم)

“Kami dahulu biasa menyiapkan siwak dan air wudhu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atas kehendak Allah beliau selalu bangun malam hari, lantas tatkala beliau bangun tidur langsung bersiwak kemudian berwudhu. Kemudian beliau melakukan shalat malam atau tarawih 9 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kedelapan lantas membaca pujian kepada Allah dan shalawat dan berdoa dan tidak salam, kemudian bangkit berdiri untuk rakaat yang kesembilan kemudian duduk tahiyat akhir dengan membaca dzikir, pujian kepada Allah, shalawat dan berdoa terus salam dengan suara yang didengar oleh kami. Kemudian beliau melakukan shalat lagi 2 rakaat dalam keadaan duduk.” (HR. Muslim 1233 marfu’, mutawatir)

Faedah, Hadits ini merupakan dalil atas:

Bolehnya shalat lagi setelah shalat witir.
Terkadang Nabi shalat witir terlebih dahulu baru melaksanakan shalat genap.
Bolehnya berdoa ketika duduk tasyahud awal.
Bolehnya shalat malam dengan duduk meski tanpa uzur.

Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang baik dalam berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
Setelah bangun kemudian shalat 2 rakaat lagi dengan bacaan yang panjang baik ketika berdiri, ruku’ maupun sujud kemudian berbaring.
Setelah bangun shalat witir 3 rakaat.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

…ثُمَّ قَامَ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَأَطَالَ فِيْهْمَا الْقِيَامَ وَ الرُّكُوْعَ وَ السُّجُوْدَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَامَ حَتَّى نَفَغَ ثُمَّ فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سِتُّ رَكَعَاتٍ كُلُّ ذَلِكَ يَشْتاَكُ وَ يَتَوَضَأُ وَ يَقْرَأُ هَؤُلاَءِ الآيَاتِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلاَثٍ

“…Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri melakukan shalat 2 rakaat maka beliau memanjangkan berdiri, rukuk dan sujudnya dalam 2 rakaat tersebut, kemudian setelah selesai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring sampai mendengkur. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi hal tersebut sampai 3 kali sehingga semuanya berjumlah 6 rakaat. Dan setiap kali hendak melakukan shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak kemudian berwudhu terus membaca ayat (Inna fii kholqis samawati wal ardhi wakhtilafil laili… sampai akhir surat) kemudian berwitir 3 rakaat.” (HR. Muslim)

Faedah, Hadits ini juga menjadi dalil kalau tidur membatalkan wudhu

Shalat tarawih sebanyak 9 rakaat dengan perincian sebagai berikut:

Melakukan shalat langsung 7 rakaat yaitu shalat langsung 6 rakaat, tidak duduk kecuali pada rakaat yang ke-6 tanpa salam kemudian berdiri 1 rakaat lagi kemudian salam. Maka sudah shalat 7 rakaat.
Kemudian shalat 2 rakaat dalam keadaan duduk.

Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Aisyah yang merupakan kelanjutan hadits no.5 beliau berkata: “Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tua dan mulai kurus maka beliau melakukan shalat malam atau tarawih 7 rakaat. Dan beliau melakukan shalat 2 rakaat yang terakhir sebagaimana yang beliau melakukannya pada tata cara yang pertama (dengan duduk). Sehingga jumlah seluruhnya 9 rakaat.” (HR. Muslim 1233)

Disunnahkan pada shalat witir membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Ikhlas pada rakaat yang kedua dan membaca surat al-Falaq atau an-Naas pada rakaat yang ketiga. Atau membaca surat “Sabbihisma…” pada rakaat yang pertama dan membaca surat al-Kafirun pada rakaat yang kedua dan membaca al-Ikhlas pada rakaat yang ketiga.

Tata cara tersebut di atas semua benar. Boleh melakukan shalat malam atau tahajud atau tarawih dan witir dengan cara yang dia sukai, tetapi yang lebih afdhol adalah mengerjakan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti. Karena bila hanya memilih satu cara berarti menghidupkan satu sunnah tetapi mematikan sunnah yang lainnya. Bila melakukan semua tata cara tersebut dengan berganti-ganti berarti telah menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin.

Adapun pada zaman Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhu Kaum muslimin melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat, 13 rakaat, 21 rakaat dan 23 rakaat. Kemudian 39 rakaat pada zaman khulafaur rosyidin setelah Umar radhiyallahu ‘anhu tetapi hal ini khusus di Madinah. Hal ini bukanlah bid’ah (sehingga sama sekali tidak bisa dijadikan dalil untuk adanya bid’ah hasanah) karena para sahabat memiliki dalil untuk melakukan hal ini (shalat tarawih lebih dari 13 rakaat). Dalil tersebut telah disebutkan di atas ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

« مَثْنىَ مَثْنىَ فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ »

“Dua rakaat – dua rakaat. Apabila kamu khawatir mendapati subuh, maka hendaklah kamu shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari)

Pada hadits tersebut jelas tidak disebutkan adanya batasan rakaat pada shalat malam baik di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Batasannya adalah datangnya waktu subuh maka diperintahkan untuk menutup shalat malam dengan witir.

Para ulama berbeda sikap dalam menanggapi perbedaan jumlah rakaat tersebut. Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat tersebut dengan metode al-Jam’u bukan metode at-Tarjih (Metode tarjih adalah memilih dan memakai riwayat yang shahih serta meninggalkan riwayat yang lain atau dengan kata lain memilih satu pendapat dan meninggalkan pendapat yang lain. Hal ini dipakai oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam menyikapi perbedaan jumlah rakaat ini. Metode al-Jam’u adalah menggabungkan yaitu memakai semua riwayat tanpa meninggalkan dan memilih satu riwayat tertentu. Metode ini dipilih oleh jumhur ulama dalam permasalahan ini). Berikut ini beberapa komentar ulama yang menggunakan metode penggabungan (al-Jam’u) tentang perbedaan jumlah rakaat tersebut:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ia boleh shalat 20 rakaat sebagaimana yang masyhur dalam mazhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 rakaat sebagaimana yang ada dalam mazhab Malik. Boleh shalat 11 dan 13 rakaat. Semuanya baik, jadi banyak atau sedikitnya rakaat tergantung lamanya bacaan atau pendeknya.” (Majmu’ al-Fatawa 23/113)
Ath-Thartusi berkata: “Para sahabat kami (malikiyyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Pada rakaat pertama imam membaca 200 ayat karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak kuat lagi menanggung hal itu maka Umar memerintahkan 23 rakaat demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan rakaat. Maka mereka membaca surat Al-Baqarah dalam 8 rakaat atau 12 rakaat.”
Imam Malik rahimahullah berkata: “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan adalah shalat yang diperintahkan Umar yaitu 11 rakaat itulah cara shalat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 dekat dengan 13.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Bazz berkata: “Sebagian mereka mengira bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 rakaat. Sebagian lain mengira bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, BAHKAN SALAH. Bertentangan dengan hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa shalat malam itu muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku yang tidak boleh dilanggar.”

Adapun kaum muslimin akhir jaman di saat ini khususnya di Indonesia adalah umat yang paling lemah. Kita shalat 11 rakaat (Paling sedikit) dengan bacaan yang pendek dan ada yang shalat 23 rakaat dengan bacaan pendek bahkan tanpa tu’maninah sama sekali!!!

Doa Qunut dalam Shalat Witir

Doa qunut nafilah yakni doa qunut dalam shalat witir termasuk amalan sunnah yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya. Karena tidak mengetahuinya banyak kaum muslimin yang membid’ahkan imam yang membaca doa qunut witir. Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai qunut dalam shalat witir dan terkadang tidak. Hal ini berdasarkan hadits:

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقْنُتُ فِي رَكْعَةِ الْوِتْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membaca qunut dalam shalat witir.” (HR. Ibnu Nashr dan Daraquthni dengan sanad shahih)

يَجْعَلُهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ

“Beliau membaca qunut itu sebelum ruku.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan An-Nasa’i dalam kitab Sunanul Qubro, Ahmad, Thobroni, Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir dengan sanad shahih)

Adapun doa qunut tersebut dilakukan setelah ruku’ atau boleh juga sebelum ruku’. Doa tersebut dibaca keras oleh imam dan diaminkan oleh para makmumnya. Dan boleh mengangkat tangan ketika membaca doa qunut tersebut.

Di antara doa qunut witir yang disyariatkan adalah:

« الَلَّهُمَّ اهْدِناَ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِناَ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّناَ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَباَرِكْ لَناَ فِيْماَ أَعْطَيْتَ، وَقِناَ شَرَّ ماَ قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّناَ وَتَعَالَيْتَ، لاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ »

Maraji’:

Shohih Muslim
Qiyaamur Ramadhan li Syaikh Al-Albanyrahimahullah
Sifat Tarawih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Majalah As-Sunnah Edisi 07/1424H/2003M
Tata Cara Shalat Malam Nabi oleh Ustadz Arif Syarifuddin, Lc.

Timika, 3 Ramadhan 1428 H

***

Penulis: R. Handanawirya (Alumni Ma’had Ilmi)
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Tanggal Kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tanggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)


Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62), dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan,

“Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)

Dengan demikian, apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya? (-ed muslim.or.id)

***

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Dikutip oleh muslim.or.id dari artikel 8 Faedah Seputar Tarikh Majalah Al-Furqon Edisi 08 th. ke-8 1430 H/2009 M

Sabtu, 18 Juni 2011

Catatan Pengajian Mushola Fakultas Kedokteran Universitas Riau 17 Juni 2011 "Hari Akhir" oleh Ustadz Abu Thohir, Lc

Rasuulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ketika orang telah meninggal ini dibaringkan ke dalam kubur , lali kubur ditimbun, lalu orang-orang itu kembali, ketika terdengar derap langkah mereka, datang malaikat berwarna hitam kebiru-biruan. Kemudian ada yang menjawab pertanyaan malaikat di kubur dan ada juga yang tidak bisa menjawab dan berkata aku mendengar orang – orang berkata seperti ini dan akupun ikut seperti itu
Penjelasan hadits:
1. Diterangkan oleh para ulama gambaran malaikat yang digambarkan pada hadits di atas adalah gambaran yang menakutkan
2. Setiap manusia yang meninggal nanti akan ditanya di alam kubur atau disebut dengan fitnatul qobri, kecuali pada riwayat lain, Rasuulullaah shollallaahu ;’alaihi wa sallam menyebutkan ada 70.000 manusia nanti yang tidak ditanya di alam kubur
3. Orang yang dapat menjawab fitnatul qobri akan mendapat nikmat atau disebut na’imul qobri, dan orang yang tidak dapat menjawab fitnatul qobri akan mendapat azab atau disebut ‘adzabul qobri
4. Dijelaskan pada hadits di atas, sebab seseorang tidak bisa menjawab adalah karena ia menjalankan syari’at tanpa ilmu/ asal asalan
Syekh Muhammad At-Tamimi berkata: bahwasanya setiap kaum mukminin kewajiban pertama adalah berilmu
Dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang dimaksud ilmu di sini adalah ma’rifatullaah (mengenal Allaah), mengenal nabi yaitu menjadikan nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan, dan mengenal agama ini dengan dalil)

Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam riwayat lain: orang yang tidak dapat menjawab fitnatul qobri maka ia akan dihardik malaikat dengan dipukul dengan palu dari besi, di antara dua matanya. Orang itu berteriak mengaduh kesakitan. Pekikan itu dapat didengar oleh semua makhluk kecuali jin dan manusia.
Pertanyaan – pertanyaan sewaktu kajian:
1. Ustadz , apa syarat jihad yang benar sesuai syar’i?
Jawab: ikhlas; di bawah komando seorang imam (waliyul amri), adanya kekuatan kaum mukminin)
2. Ustadz, apa saja yang termasuk dosa besar?
Jawab: dijelaskan oleh imam Az-Zahabi dosa besar adalah dosa yang ada kafaratnya (hukuman di dunia) atau ada ancaman neraka di akhirat. Contoh: syirik, ada ancaman di neraka, dosa berzina, ada kafarat hukuman rajam, mencuri, ada kafarat potong tangan
3. Ustadz, apa itu takdir
Jawab: takdir itu memiliki 4 tangga
a. Beriman bahwa Allaah Maha Mengetahui
b. Allaah telah menuliskan di Lauhil Mahfuz
c. Allaah Menghendakinya
d. Terjadilah takdir

Catatan Pengajian Mushola Fakultas Kedokteran Universitas Riau 16 Juni 2011 "Kematian" oleh Ustadz Maududi Abdullaah, Lc

QS. Ali Imran 185:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Maksud dari ayat di atas adalah Allaah mengingatkan kita akan kematian agar kita beramal sebelum kematian karena setelah kematian pasti semua perbuatan kita akan dihisab
Perhatikan hadits di bawah ini menggambarkan bagaimana nanti di hari akhir orang-orang benar-benar sibuk akan dirinya sendiri memikirkan apa yang akan terjadi padanya
Rasuulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Manusia akan dibangkitkan di hari kiamat tanpa alas kaki, tidak dikhitan, dan tanpa pakaian. Kemudian dijawab oleh ‘Aisyah rodhiallaahu ‘anha: tidakkah kita melihat aurat orang lain? Kemudian dijawab oleh Rasuulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam: keadaan di akhirat jauh lebih rumit dari itu
Rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: orang cerdas itu adalah orang yang jiwanya tunduk dan taat da dia beramal untuk apa-apa yang setelah di akhirat, dan orang lemah itu yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya
Hasan AlBasri (thabi’in) berkata: Orang mukmin itu hidup bersamaan dengan ketaatan dan kekhawatiran dan orang fasik itu hidup bersamaan dengan maksiat dan rasa aman
Maksud perkataan Hasan AlBasri adalah orang yang benar benar beriman ia akan selalu ta’at, namun ia selalu khawatir, apakah amalnya ini akan diterima atau tidak, ia selalu mohon ampun namunia khawatir apakah ampunannya ini diterima atau tidak sehingga ia terus beramal, karena tidak ada yang menjamin amalannya akan diterima, dan dosanya akan diampunkan. Berbeda dengan orang fasik, ia melakukan maksiat namun ia merasa aman.

Hukum Mendengarkan Musik Dan Nyanyian Oleh Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin

Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah سبحانه و تعالى berfirman.

"Artinya : Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan" [Luqman : 6]

Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan ayat ini berkata : "Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu".

Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat tiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an, Penafsiran Al-Qur'an dengan hadits dan ketiga Penafsiran Al-Qur'an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa' (dinisbatkan kepada Nabi صلی الله عليه وسلم). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa', tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.

Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam haditsnya.

"Artinya : Akan ada suatu kaum dari umatku menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik"

Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadits Riwayat Bukhari dari hadits Abu Malik Al-Asy'ari atau Abu Amir Al-Asy'ari]
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik sangat jelas dan pasti.

Minggu, 22 Mei 2011

Tawaddhu’ Kepada Orang Mukmin bagian 2 oleh Ustadz Heri Purnomo,Lc (Mesjid Akramunnas, 21 April 2011)

1. Anas bin Malik rhodhiallaahu ‘anhu (pembantu Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallan) pernah melewati anak-anak kecil yang berkumpul lalu mengucapkan salam, lalu beliau berkata,”Demikianlah yang dilakukan nabiyallaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam (Muttafaqun ‘alaih, Bukhori, Muslim)

Hikmah yang diambil dari hadits ini:
a. Rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan adab seorang muslim yaitu mencontohkan yang sedikit member salam kepada orang yang banyak
b. Bagaimana para sahabat Rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam sangat antusias sekali dalam mengikuti Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam
c. Adab seorang muslim, Bertemunya sesame kaum muslimin hendaklah mengucapkan salam

Mengenai tatacara menjawab salam QS. An-Nisa:
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.
Maksudnya jika seorang muslim member salam dengan mendoakan keselamatan dan rahmat (Assalaamu’alaikum wa rahmatullaah ) maka jawablah paling tidak dengan jawaban yang serupa yaitu wa’alaikum salaam warahmatullaah, atau lebih, seperti wa’alaikum salaam warahmatullaahi wabarokaatuh

2. Anas bin Malik rodhiallaahu ‘anhu berkata: adalah di zaman nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam hidup, ada wanita budak sahaya di Madinah, mengambil tangan Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam agar menyelesaikan hajatnya, membawanya ke mana-mana, Rosuulullaah tidak melarangnya (HR. Bukhari)

Hikmah dari hadits di atas:
• Kedekatan Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam kepada sesame muslim, walaupun seorang budak
• Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam menghormati budak
• Persamaan hak antara manusia
• Dijelaskan oleh imam Muslim , Dalam hal ini Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berkhalwat karena ia berada pada jalan yang banyak dilalui orang banyak

3. Aswad bin Yazid rodhiallaahu ‘anhu bertanya kepada ‘Aisyah rodhiallaahu ‘anha: Apa yang dilakukan Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya? Dijawab oleh ‘Aisyah: Nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam selalu membantu pekerjaan istrinya, apabila telah masuk waktu sholat, ia tinggalkan dan ia pergi ke mesjid

Hadits riwayat Imam Tirmidzi: Rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, anak istrinya, dan akulah orang yang paling baik kepada keluargaku
Hikmah: Rosuulullaah selalu membantu urusan rumah tangga

4. Diriwayatkan oleh ibnu Hibban dari Ibnu Zubair, Urwah bertanya kepada ‘Aisyah rodhiallaahu ‘anha: Wahai Ummul Mukminin, apa yang dikerjakan Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika bersamamu dirumah? Dijawab oleh ‘Aisyah: beliau melakukan apa yang kalian lakukan kepada istri kalian, bila ada sandal putus, maka ia jahit, bila ada kain yang robek, maka ia jahit, dan ia mengangkat air (Shahih Ibnu Hibban)
5. Dari Abi Rifa’ah (Thamim bin Usaid): saya telah datang kepada Rosuulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakan kebutuhan, ketika itu Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam sedang khutbah. Saya berkata: “Telah datang laki-laki asing bertanya tentang hukum agama”. Ia (Rosuulullaah) turun dari mimbar, ia mendatangi saya, didatangkan kursi, saya duduk dan nabi shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada saya agama Islam, kemudian ia kembali menyempurnakan khutbah jum’atnya.

Hikmah hadits di atas:
1. Ketawaddhu’an Rosuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam
2. Khatib boleh memberhentikan khutbah jika ada perkara yang penting
3. Perhatikan, tidak ada seorang sahabat pun yang menegur laki laki ini, karena sahabat Rosuulullaah mengetahui kalau dalam khutbah jum’at, makmum tidak boleh berbicara, walaupun menegur. Yang berhak menegur/ berbicara dalam khutbah jum’at hanyalah khatib sendiri.


Wallaahu ‘alam Bissawaab

Senin, 16 Mei 2011

Tawaddhu’ dan Memiliki Sifat Rendah Hati Orang-orang Mukmin bagian 1 oleh Ustadz Heri Purnomo Lc (Catatan Pengajian Mesjid Akramunnas 7 April 2011)


Tawaddhu’ merupakan lawan dari sifat sombong yaitu merendahkan dirinya dalam artian meninggalkan hal-hal yang bias merendahkan makhluk hanya karena mengharap redho Allaah
Imam Nawawi membawakan dalil dari AlQuran yaitu 5 ayat yang berkaitan dengan sifat Tawaddhu’
1.      QS. Asy-Syuara: 215
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.

Menurut penafsiran Abdurrahman bin Nasher tentang ayat ini, mengatakan maksudnya adalah hendaklah kamu memiliki akhlaq yang lembut dalam perbuatan dan perkataanmu  dan kecintaanmu pada mereka (orang –orang mukmin) adalah baiknya akhlaqmu. Apakah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allaah dan Rasuulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam yang mengaku mengikuti Rasuulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam kasar kepada kaum muslimin, hati yang keras, kata-kata yang menyakiti makhlukNya. Dia mendapatkan kerusakan yang banyak, dia kehilangan kebaikan yang banyak

2.      QS. Al-Maidah: 54
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاء وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Abdurrahman bin Nasher  menafsirkan ayat ini maksudnya adalah agar lemah lembut kepada kaum mukmin dengan menasehati mereka dengan baik, kasih saying, dan mempermudah masalah mereka

3.      QS. Al-Hujurat: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

4.      QS. An-Najm: 32
الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
 (Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.

5.      QS. Al-A’raf: 48-49
وَنَادَى أَصْحَابُ الأَعْرَافِ رِجَالاً يَعْرِفُونَهُمْ بِسِيمَاهُمْ قَالُواْ مَا أَغْنَى عَنكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ
Dan orang-orang yang di atas A'raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda- tandanya dengan mengatakan: "Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfa'at kepadamu."
أَهَـؤُلاء الَّذِينَ أَقْسَمْتُمْ لاَ يَنَالُهُمُ اللّهُ بِرَحْمَةٍ ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلاَ أَنتُمْ تَحْزَنُونَ
 (Orang-orang di atas A'raaf bertanya kepada penghuni neraka): "Itukah orang-orang yang kamu telah bersumpah bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat Allah?". (Kepada orang mu'min itu dikatakan): "Masuklah ke dalam syurga, tidak ada kekhawatiran terhadapmu dan tidak (pula) kamu bersedih hati."
Rasuulullaah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allaah telah mewahyukan kepadaku untuk umat Islam supaya kalian memiliki sifat tawaddhu’ sehingga tidak seorangpun yang menyombongkan kepada orang lain dan tidak seorangpun yang menzholimi kepada orang lain (Shahih Muslim)

Wallaahu ‘alam bissawaab

Jumat, 15 April 2011

Ali bin Abi Thalib ra (Catatan Pengajian mesjid Akramunnas 14 April 2011 oleh Ust. Abu Zubair, Lc)



1.       Wafatnya Ali bin Abi Thalib ra
Suatu ketika subuh menjelang, salah seorang sahabat membangunkan Ali bin Abi Thalib ra untuk shalat Subuh. Akan tetapi Ali ra masih tetap susah untuk bangun, sampai tiga kali shahabat membangunkan, hingga kali ketiga ini beliau bangun, dan ketika beliau telah berada di depan pintu, telah ada di sana Ibnu Muljam. Ia radhiallaahu ‘anhu ditikam dengan pisau beracun oleh oleh Ibnu Muljam hingga akhirnya meninggal
Ibnu Muljam merupakan seorang pemberontak pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Ada tiga target pembunuhan waktu itu, Ali ra, Muawiyah ra, dan Amru binAsh ra. Ali dan Muawiyah terkena tikaman, sedangkan Amru bin Ash selamat karena beliau sedang sakit, yang mana waktu itu seharusnya beliau mengimami shalat subuh, sehingga pemberontak salah  tikam
Ali bin Abi Thalib ra wafat terkena racun dari belati itu, sedang Muawiyah tidak wafat dikarenakan masih sempat tertolong oleh tabib waktu itu. Akan tetapi akibat obat yang ia minum ia mengalami kemandulan

2.       Sifat Ali bin Abi Thalib ra
Suatu kali Ghirab bercerita kepada Muawiyah tentang sifat Ali bin Abi Thalib yaitu:
-          Kuat
-          Berkata tegas
-          Jika menghukum adil
-          Memancar darinya ilmu
-          Memancar hikmah-hikmah dari akhlaqnya
-          Menjauhi dunia dan gemerlapan
-          Bersahabat dari malam dan kegelapan
-          Membalikkan tangannya (sehingga tampak telapak) dan berbicara kepada dirinya sendiri (bermuhasabah)
-          Berpakaian pendek
-          Ketika dating ia mendekat kepada kami
-          Ketika kami bertanya ia menjawab
-          Kalau ia tersenyum seperti tersusun mutiara rapi
-          Mencintai orang orang miskin
-          Tidak akan membuat orang yang kuat, tamak akan kebatilannya (dalam menghukum tidak pandang bulu)
-          Orang yang lemah tidak akan putus asa mencari keadilan (melindungi orang yang lemah)
Kemudian Ghirab melanjutkan, “dan saya bersaksi kepada Allaah bahwa saya menyaksikan ia di sebagian malam, ketika itu ia berada di mihrabnya dan memegang jenggotnya, merintih dan terisak isak menangis, menahan kepedihan, ia mengucap: Wahai Rabb kami, wahai Rabb kami (sambil merendah), Wahai dunia, engkau akan menggodaku, sama sekali tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin, silakan engkau goda yang lain, engkau telah aku talak tiga
        Mendengar penuturan ini, Muawiyah menangis, melihat Muawiyah menangis, orang orang yang berada di sanapun ikut menangis.

3.       Nasehat-nasehat Ali bin abi Thalib ra
-          Dari Abi Araqah: Aku pernah shalat subuh bersama Ali bin Abi Thalib. Tatkala ia mengucapkan salami a memutar ke kanan (sehingga badannya terbalik dan menghadap makmum). Kemudian beliau tetap duduk di tempatnya sehingga hari meninggi setinggi tombak (waktu dhuha), (tampaklah) seolah-olah wajahnya ada beban. Kemudian Ali bin Abi Thalib ra berkata: Sungguh aku telah melihat para sahabat Rasuulullaah SAW dan aku tidak melihat orang lai seperti mereka. Dulu mereka di pagi hari tampak kusut dan pucat, diantara mata mereka tampak seperti aliran (karena menangis, dan beribadah di malam harinya), sungguh mereka melewatkan malam dengan sujud dan shalat, membaca kitabullaah, silih berganti antara telapak kaki dan kening mereka (bangun dan sujud sholat), kalau mereka mengingat Allaah, mereka langsung takut seperti pohon yang condong ditiup, sehingga mereka menangis. Demi Allaah seolah-olah orang yang sekarang itu lalai.
Sejak itu beliau tidak tampak lagi tertawa, sampai beliau wafat ditikam

-          Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata:Beruntung bagi setiap hamba yang num’ah, ia kenal orang , tapi ia tidak dikenal orang banyak, walaupun orang tidak kenal, tapi Allaah mengenalnya, dialah pelita pelita, mereka bukan orang yang suka mengumbar (membuka) rahasia, mereka bukan orang yang suka mengadu domba

-          Ali bin abi Thalib ra pernah berkata: kalau hendak menghadapi orang yang berilmu, maka ucapkanlah salam kepadanya, dan kepada kaum muslimin, ucapkan salam dan duduk menghadapnya dan jangan member isyarat dengan tangan dan jangan mengolok-olok dia dan mengedip kedip dia dengan matamu, dan jangan ucapkan di depannya “Fulan” berbeda pendapat denganmu  (maksudnya jika kita ingin menyampaikan suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama atau ustadz jangan sebut nama orang yang memberi pendapat itu), dan jangan menari narik pakaiannya, dan jangan memaksa-maksa bertanya kepadanya, ia itu seperti korma yang segar dan selalu member faedah dan manfaat manfaat

-          Suatu kali Ali ra bertanya kepada seseorang: Apa yang engkau perbuat
Dijawab: Aku mengharap surga Allaah
Ali ra: Barangsiapa yang benar benar mengharap sesuatu pasti akan memburunya. Barang siapa yang benar benar takut akan sesuatu pasti akan lari darinya

Wallaahu ‘alam bissawaab